
Pengembangan Teori Sosial
1. Aksiologi Ilmu Sosial dan Makna Kegunaannya
Aksiologi sebagai cabang filsafat ilmu mengkaji nilai dan kegunaan dari suatu pengetahuan. Dalam konteks ilmu sosial, aksiologi mempersoalkan bukan hanya kebenaran ilmiah semata, tetapi juga kebermanfaatan sosialnya. Ilmu sosial tidak sekadar menjelaskan realitas, tetapi juga berperan aktif dalam transformasi masyarakat. Hal ini sejalan dengan pandangan Bung Hatta yang melihat ilmu sosial sebagai alat kritik dan pendorong perubahan sosial ke arah keadilan dan kemakmuran. Sebagaimana dikemukakan oleh Max Horkheimer (1972), ilmu sosial yang tidak berpihak pada emansipasi manusia adalah ilmu yang kehilangan ruh kritisnya. Oleh karena itu, ilmu sosial harus menjadi critical discourse dan applied science yang berguna dalam menyelesaikan masalah seperti kemiskinan, ketimpangan sosial, dan penindasan struktural.
2. Ilmu Sosial sebagai Ranah Multidisipliner
Istilah "ilmu sosial" menurut Ralf Dahrendorf merupakan konsep ambisius yang mencakup berbagai disiplin yang mempelajari masyarakat, mulai dari sosiologi, antropologi, psikologi sosial, ekonomi, politik hingga geografi. Ini menunjukkan bahwa ilmu sosial bersifat multidisipliner dan kompleks. Pendekatan multidisipliner ini selaras dengan gagasan Pierre Bourdieu (1990) tentang field theory yang menempatkan ilmu sosial dalam medan kekuasaan, simbol, dan struktur yang saling berinteraksi. Ilmu sosial juga menuntut sensitivitas kontekstual—apa yang berlaku di masyarakat Jawa belum tentu relevan di Papua atau NTT. Oleh karena itu, penerapan teori sosial Barat di Indonesia perlu dikaji ulang dengan mempertimbangkan konteks lokal (Comaroff & Comaroff, 2012).
3. Teori Sosial: Struktur, Fungsi, dan Relevansi Kontekstual
Teori sosial adalah perangkat konseptual yang berfungsi untuk menjelaskan fenomena sosial dan menyusun kerangka kerja penelitian (Kerlinger, 1973). Menurut Campbell (1966), teori terdiri dari definisi, deskripsi, dan penjelasan yang memungkinkan kita memahami “mengapa sesuatu terjadi sebagaimana adanya.” Fungsi teori dijelaskan lebih lanjut oleh Suppes (1974), yaitu sebagai alat prediksi, kontrol, dan penyederhanaan kompleksitas realitas sosial. Namun demikian, teori tidak bersifat mutlak—ia dinamis, berubah mengikuti perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, teori sosial harus terus dimutakhirkan dan dikontekstualisasi. Dalam konteks Indonesia, misalnya, teori strukturalisme fungsional Talcott Parsons perlu dikritisi melalui pendekatan postkolonial (Spivak, 1988).
4. Teori Kritis dan Perkembangan Perspektif Kontemporer
Era postmodern dan kontemporer telah melahirkan beragam kritik terhadap teori sosial klasik. Foucault (1977) menunjukkan bagaimana kekuasaan bekerja melalui wacana dan institusi sosial. Habermas (1984) mengusulkan teori tindakan komunikatif sebagai jalan menuju rasionalitas yang lebih inklusif. Sementara itu, Touraine (1995) menekankan pentingnya gerakan sosial sebagai agen perubahan. Teori feminis juga turut memperkaya khasanah ilmu sosial dengan menyoroti marjinalisasi perempuan (Butler, 1990). Selain itu, pendekatan post-strukturalis Derrida mengusung dekonstruksi sebagai cara membaca realitas yang menolak makna tunggal. Semua ini menandai pergeseran epistemologis dari universalitas ke partikularitas, dari objektivitas ke polifoni kebenaran.
5. Kontribusi Ilmu Sosial dalam Dunia Nyata
Ilmu sosial tidak berhenti pada tataran teoritis, tetapi memiliki relevansi praktis yang nyata. Misalnya, dalam merancang kebijakan publik berbasis bukti, memperkuat partisipasi masyarakat, dan mengatasi ketimpangan struktural. Pengetahuan sosial harus berdialog dengan realitas dan merespons dinamika zaman. Seperti dikemukakan Althusser (1971), pengetahuan adalah bagian dari aparatus ideologis negara, namun bisa juga menjadi alat pembebasan bila dikritisi secara radikal. Oleh karena itu, pendidikan ilmu sosial harus menumbuhkan kesadaran kritis dan keberpihakan pada keadilan sosial.
Referensi Untuk Lebih Memahami Materi Kuliah
-
Althusser, L. (1971). Ideology and Ideological State Apparatuses. Monthly Review Press.
-
Bourdieu, P. (1990). The Logic of Practice. Stanford University Press.
-
Butler, J. (1990). Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity. Routledge.
-
Campbell, D. T. (1966). Pattern Matching as an Essential in Scientific Inquiry. Psychological Review, 67(2), 121–140.
-
Comaroff, J., & Comaroff, J. L. (2012). Theory from the South: Or, How Euro-America is Evolving Toward Africa. Paradigm Publishers.
-
Dahrendorf, R. (1959). Class and Class Conflict in Industrial Society. Stanford University Press.
-
Foucault, M. (1977). Discipline and Punish: The Birth of the Prison. Pantheon Books.
-
Habermas, J. (1984). The Theory of Communicative Action (Vol. 1). Beacon Press.
-
Horkheimer, M. (1972). Critical Theory: Selected Essays. Herder and Herder.
-
Kerlinger, F. N. (1973). Foundations of Behavioral Research. Holt, Rinehart and Winston.
-
Spivak, G. C. (1988). Can the Subaltern Speak? In Marxism and the Interpretation of Culture. Macmillan.
-
Touraine, A. (1995). Critique of Modernity. Blackwell.